Jumat, 15 Juni 2012

Resensi Novel Sepatu Dahlan

Sepatu Dahlan


[No. 291]
Judul : Sepatu Dahlan
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Noura Books
Cetakan : I, Mei 2012
Tebal : 369 hlm


Dahlan Iskan  bisa dikatakan sebagai sosok menteri  di jajaran Kabinet Indonesia Bersatu jilid 2 yang paling dikenal oleh rakyat Indonesia. Menteri yang dikenal disiplin dalam tugasnya, temperamental namun murah senyum ini sering dianggap kontroversial baik dari kiprahnya maupun keputusan-keputusan yang diambilnya, namun Presiden SBY  memujinya sebagai menteri yang cekatan dan responsif
Disamping  itu Dahlan Iskan juga dikenal sebagai sosok yang bersahaja, dalam menjalankan tugasnya Dahlan Iskan rela berkeringat ikut naik KRL,  menyantap soto di pinggir jalan, menginap di rumah petani miskin dan tidur terlelap hanya dengan beralas tikar, dan sebagainya. Dari segi berpakaikan pun ia pun sangat sederhana, sementara menteri lain mengenakan jas atau batik  ia lebih suka mengenakan  baju putih lengan panjang yang digulung dan sepatu kets sebagai alas kakinya kemanapun ia pergi.
Siapa sebenarnya Dahlan Iskan, mengapa ia begitu disiplin, tidak canggung bergaul dengan rakyat dan selalu menggunakan sepatu kets?  Jawabannya mungkin bisa kita peroleh melalui novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara yang kisahnya terinspirasi dari masa remaja Dahlan Iskan.
Novel Sepatu Dahlan yang merupakan bagian pertama dari Trilogi Novel inspirasi Dahlan Iskan ini mengisahkan kehidupan Dahlan Iskan saat remaja. Melalui novel ini terungkap bahwa Dahlan Iskan dibesarkan dalam keluarga miskin di desa Kebon Dalem, Magetan, Jawa Tengah  yang harus berjuang guna memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.  Namun sedari kecil kedua orang tuanya selalu menekankan bahwa hidup miskin bukan berarti harus meminta-minta untuk dikasihani melainkan harus dihadapi dengan bekerjadan berusaha.
Kehidupan mendidik Dahlan kecil dengan keras. Perih karena rasa lapar tak jarang harus dialaminya, sampai-sampai ia dan adiknya harus melilitkan sarung di perutnya untuk menahan perih lambungnya karena lapar. Meskipun  hidup dalam kekurangan keluarganya tetap mengutamakan pendidikan bagi anak-anaknya. Walau tak memiliki sepatu  Dahlan rela berjalan kaki puluhan kilometer untuk bersekolah tanpa alas kaki. Perih karena lecet pada kakinya yang tak bersepatu tak membuatnya malas bersekolah. Alih-alih malas ia menyimpan dua impian besar di masa kecilnya yaitu memiliki sepatu dan sepeda.
Impian itu terus membayangi kehidupan masa kecil hingga remajanya, ia terus berusaha mengejar impiannya. Walau kehidupannya semakin sulit ditambah kesedihannya ditinggal oleh orang-orang yang disayanginya mimpinya memiliki sepatu dan sepeda tak pernah hilang hingga akhirnya ketika Dahlan telah berhasil meraih mimpinya itu ia sadar bahwa ada mimpi lain yang harus ia raih, mimpi besar untuk melawan kemiskinan yang mendera keluargaya yang harus diikhiarkannya dengan bekerja kerjas.
 
Dahlan Iskan di Istana Negara 
dengan kemeja putih 
dan sepatu ketsnya.
  
Novel ini menginspirasi pembacanya untuk tidak menyerah oleh keadaan. Kehidupan Dahlan kecil yang serba kekurangan terkisahkan dengan sangat  baik sehingga menyentuh nurani kita yang mungkin lebih beruntung dibanding Dahlan kecil. Novel ini juga menyadarkan kita bahwa kemiskinan bukanlah akhir dari segala-galanya malahan dalam sebuah petuahnya, ayah Dahlan berkata bahwa “Kemiskinan yang dijalani dengan tepat akan mematangkan jiwa”.
Sejarah hidup Dahlan telah membuktikan petuah ayahnya ini, Dahlan kecil memang terlihat lebih matang dibanding anak seusianya dan kematangan jiwanya itulah yang juga menghantarnya hingga bisa menjadi seorang menteri yang disgani. Masa kanak-kanaknya harus dilalui dengan keras, ketika anak-anak lain beria-ria bermain atau beristirahat sepulang sekolah, Dahlan harus menyabit rumput, mengangon domba, menjadi kuli seset di kebun tebu, dll untuk membantu keluarganya. Walau hidupnya sulit Dahlan tak lantas kehilangan keceriaannya, novel ini menceritakan dengan jelas bagaimana anak-anak miskin seperti Dahlan tetap memiliki keceriaan masa kanak-kanak dengan caranya sendiri.
Selain menceritakan perjuangan Dahlan mengejar mimpinya memiliki sepatu, pahitnya kehidupan yang dihadapinya, dan juga persahabatannya dengan teman-temannya, novel ini juga mengungkap sejarah pembantaian  masal di sumusr-sumur tua di Sococ, Cogrok, dan Dusun Dadapan, Magetan terhadap anggota atau simpatisan PKI
Seluruh kisah Dahlan dan mimpinya dalam novel ini memang patut untuk diapresiasi dengan baik. Penulis mampu merangkai sebuah kisah yang menarik dari awal hingga akhir dengan nuansa sastrawi yang menarik sehinga  novel yang diawali saat Dahlan Iskan hendak dioperasi cangkok liver di tahun 2007 lalu flash back ke masa kecil Dahlan ini tak hanya enak dibaca melainkan mampu melibatkan emosi pembacanya dan menginpirasi pembacanya untuk tidak menyerah oleh keterbatasan.
Bersyukur walau yang dikisahkan dalam novel ini adalah sosok seorang tokoh terkenal namun penulis tak terjebak dalam menulis hal-hal yang baiknya saja. Dahlan dalam novel ini tidak digambarkan sebagai sosok yang sempurna, sama seperti anak-anak lainnya Dahlan juga dikisahkan melakukan kenakalan seperti anak-anak lainnya seperti mencuri tebu, mencoba membongkar lemari ayahnya agar bisa mendapat uang untuk membeli sepatu, memiliki nilai merah di raportnya, dan sebagainya.
Sepatu yang menjadi impian Dahlan kecil mengikat keseluruhan kisah dalam novel ini sehingga pembaca dibuat ikut merasakan bagaimana besarnya keinginan Dahlan untuk memiliki sepatu. Sayangnya penulis tidak menceritakan seperti yang diungkap Dahlan Iskan dalam pengantar novel ini, yaitu ketika akhirnya ia berhasil memiliki sepatu ia tetap nyeker sambil menenteng sepatu agar sepatunya itu tetap awet. Tentunya ada banyak sisi-sisi menarik yang bisa digali dan dikisahkan saat Dahlan untuk pertama kalinya memiliki sepatunya hasil dari jerih upayanya sendiri.
Terlepas dari hal di atas dengan segala kelebihan dan kelemahannya novel ini sepatutnya dibaca oleh siapa saja dengan range usia yang cukup panjang, mulai dari anak remaja hingga para orang tua. Ada banyak nilai-nilai kekeluargaan,  kedisiplinan, ketekunan, perjuangan, persahabatan, plus romansa remaja yang tercemin dalam kisah Dahlan dan sepatunya ini.
Selain itu melalui novel ini pula kita bisa memahami apa yang melatari sosok  Dahlan Iskan seperti yang kini dikenal dengan kenyentrikan, kesederhanaan, dan kerja kerasnya. Seperti apa kata Panda Nababan (Wakil Pemred RCTI) dalam komentarnya di novel ini :
"Kesederhanaan, rendah hati dan kerja keras yang dibarengi keteguhan hari, bukanlah sekedar gerbakan. Tapi itu semua adalah bentuk ucapan syukur Pak Dahlan terhadap apa yang pernah dilaluinya dan sudah dicapai”

Seperti yang sudah diduga karena novel ini hadir di tengah popularitas Dahlan Iskan yang tengah meroket, novel ini segera mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat Indonesia. Terbukti hanya dalam waktu empat hari setelah terbit, novel ini telah terjual sebanyak 12 ribu ekslempar. Semoga dengan semakin banyak orang yang membaca novel ini semakin banyak pula orang yang terinpirasi dari kisah kehidupan Dahlan Iskan.

@htanzil

Tidak ada komentar:

Mimpi, simbol ,pertanda dan petualangan akan membawa pembaca seperti mendengar kembali suara suara bijak dalam “The Alchemist” . Dengan bah...