Saya tahu bahwa segalanya kini telah berbeda. Apa yang saya kenang-kenang adalah bagian dari pikiran tentang masa lalu yang tak mungkin terulang. Saya juga tidak sedang menipu diri sendiri, segalanya hanya mimpi, dan saat ini dia masih berada di sisi saya. Bahwa kami masih menjalin cinta dengan sejuta bahagia. Saya tahu segalanya sudah berakhir. Saya juga tahu, bahwa saat ini, sama seperti dirinya, saya seharusnya juga mulai beranjak membuka lembaran baru.
Tapi Tuhan, mengapa menerima keadaan sebegini sulitnya?

Tapi Tuhan, kini saya mengerti. Bagian terberat dari mencintai seseorang adalah melupakan dia yang pernah ada di sisi.

mengapa menerima keadaan begitu sulitnya?
mengapa menerima keadaan begitu sulitnya?
Berkali-kali saya sempat membaca sebuah pendatan. Bahwa kita hanya membutuhkan waktu dua menit untuk jatuh cinta, tapi barangkali kita membutuhkan waktu seumur hidup untuk melupakannya. Hingga saat ini saya mengalaminya sendiri, saya tak pernah percaya. Saya pikir, jika saya sudah menerima kenyataan bahwa kami sudah berpisah, lantas logika saya akan membuat saya otomatis melupakan dirinya. Tapi Tuhan, kini saya benar-benar paham, bahwa bagian paling sulit dari mencintai seseorang adalah melupakannya.
Tuhan, mengapa logika dan hati manusia sering tak sejalan?

Percuma saya mengatakan pada dunia bahwa rasa itu sudah hilang. Tapi sejauh apapun saya ingkar, toh namanya yang masih bertahta dalam ingatan.

tangan ini masih selalu menuliskan namanya
tangan ini masih selalu menuliskan namanya
Saat orang-orang di sekitar saya bertanya, saya akan menjawab dengan senyuman lebar dan kalimat aku baik-baik saja. Saya bisa saja mendeklarasikan kepada dunia bahwa yang telah lalu biarkanlah berlalu. Saya bisa saja mengutip-ngutip quote entah siapa yang mengisyaratkan bahwa melupakan bukan hal yang mustahil. Saya juga bisa saja menyanyikan lagu-lagu tentang membuka lembaran baru untuk meyakinkan mereka bahwa saya sudah lama melupakan dia.
Bahkan, saya juga bisa berpura-pura membuka hati untuk orang lain dan hubungan lain untuk menunjukkan padanya bahwa bukan hanya dia yang bisa membuka lembaran baru. Tapi bagaimana ini, Tuhan? Sejauh apapun saya ingkar, perasaan ini tak bisa dikelabuhi. Hingga saat ini, dia masih satu-satunya orang yang saya inginkan.

Katanya, melihat orang yang dicintai bahagia juga akan membuat kita bahagia. Mungkin benar, tapi dibalik bahagia itu kesedihan tetap ada.

bahagia dan sakit datang bersama saat melihatnya bahagia
bahagia dan sakit datang bersama saat melihatnya bahagia
Lagu-lagu romantis yang sering saya dengarkan di radio dan music player itu memberitahu saya bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa kebahagiaan terbesar orang mencintai adalah saat melihat orang yang dicintainya berbahagia. Sungguh, saya bahagia melihatnya tertawa. Senyumnya, entah bagaimana memberikan efek tenang dalam diri saya, membuat saya berpikir dia baik-baik saja.
Tak ada yang tahu bagaimana saya lega setiap kali melihatnya baik-baik saja. Tapi saya juga tidak akan berbohong lagi. Saya bahagia jika dia memang sudah memiliki orang lain yang bisa membuatnya tertawa, tapi rasa sakit itu juga tetap ada. Rasa pedih di hati saya memang tak pernah terlihat oleh dunia. Tapi apakah mencintai seseorang harus sebegini sakitnya?

Bukan saya ingin atau sengaja menyiksa diri. Tapi Tuhan, bagaimana caranya mengendalikan rasa yang begitu kuat ini?

lagu-lagu cinta ini masih tertuju kepadanya
lagu-lagu cinta ini masih tertuju kepadanya
Sekali lagi, saya bukannya sedang menipu diri sendiri. Apalagi menyiksa diri sendiri. Jika Engkau bertanya, apa yang saya inginkan, pastinya saya ingin melupakannya, Tuhan. Saya sudah lelah dengan segala pengharapan dan rindu yang tak ada obatnya ini. Saya juga bukannya tidak pernah berusaha. Sudah jauh kaki ini melangkah, menemui orang-orang baru, dan mencoba membuka lembaran-lembaran baru. Tapi tetap saja, kenangan itu selalu berpulang kepadanya.
Saya tahu saya tidak boleh menghidupi kenangan. Saya tahu bahwa kenangan harus tetap menjadi kenangan, tidak boleh diubah menjadi harapan. Sungguh, saya ingin melupakannya. Tapi rasa ini tumbuh seperti sel kanker yang tak bisa saya kendalikan. Tuhanku, mohon ajari saya cara untuk melupakan.

Mengapa hati manusia tak bisa terprogram seperti komputer, yang bisa dengan mudah menghapus semua kenangan dengan satu kali memencet tombol saja?

betapa mudahnya jika kenangan bisa di-delete dari kehidupan
betapa mudahnya jika kenangan bisa di-delete dari kehidupan
Saat menulis ini, saya sedang menghadap layar computer. Terkadang terbersit pertanyaan dalam benak saya. Mengapa manusia sedemikian rumitnya, Tuhan? Mengapa perkara hati selalu menjadi hal yang tak bisa saya pecahkan? Mengapa hati dan logika seringkali tak bisa sejalan? Mengapa otak manusia tidak didesain seperti komputer saja? Di komputer, saya bisa memilih dan memilah data mana yang saya butuhkan dan mana yang harus saya buang. Hanya dengan menekan ctrl+del saya bisa menghapus memori-memori tak bermanfaat yang memberatkan komputer saya. Mengapa pikiran saya tak bisa demikian?
Maafkan saya yang terburu-buru menyampaikan semua ini. Barangkali terkesan ada kemarahan dalam curahan hati saya, tapi sungguh itu semata-mata ungkapan kegelisahan yang selama ini memberati hidup saya. Di akhir keluh kesah ini, saya tahu bahwa mencintainya adalah hal yang sia-sia.
Mencintainya hanya akan membuat saya tenggelam dalam kesedihan yang tak akan membawa saya ke mana-mana. Tapi Tuhan, salahkah saya bila masih memelihara rasa yang seharusnya sudah tak ada?
Sebab, barangkali sebagai manusia saya begitu lemahnya, sehingga tak bisa mengendalikan rasa. Karena itulah di sini saya mengadu. Saya bertanya. Dan saya memohon petunjukmu. Sebab hanya Engkau yang tahu ada apa di masa depan, Tuhan. Hingga saat ini, mohon maafkan saya jika berulang-ulang bertanya: jika memang kamu tak bisa Kau satukan, mengapa rasa ini masih Engkau biarkan bersemayam?